Banyak Jamaah haji yang semangat melakukan kebaikan, sehingga meskipun mereka telah terkana kewajiban untuk menyembelih hewan hadyu, namun tetap saja mereka semangat untuk menyembelih hewan kurban. Apalagi melakukan kurban tersebut di tanah suci Mekah yang tentu menjanjikan pahala yang dilipat gandakan dari pada di tanah air.
Apakah mereka masih disyari’atkan untuk berkurban? Kalau disyari’atkan lantas apakah kurban di Mekah lebih baik ataukah di tanah air yang lebih banyak orang miskinnya?
Madzhab Hanafi memandang bahwa kurban wajib bagi yang mampu, namun menurut mereka seorang yang sedang berhaji tidak wajib, karena ia sedang bersafar. Adapun penduduk Mekah yang haji tetap wajib kurban karena mereka muqim bukan musafir.
As-Sarokhsi berkata :
وَإِنَّمَا لَمْ تَجِبْ عَلَى الْمُسَافِرِينَ لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنْ الْمَشَقَّةِ فِي تَحْصِيلِهَا… هِيَ وَاجِبَةٌ عَلَى أَهْلِ الْأَمْصَارِ مَا خَلَا الْحَاجَّ ….فَأَمَّا أَهْلُ مَكَّةَ فَعَلَيْهِمْ الْأُضْحِيَّةُ، وَإِنْ حَجُّوا
“Dan kurban tidaklah wajib bagi oarng-orang yang bersafar karena hal ini memberatkan mereka… dan kurban wajib bagi penduduk kota selain yang sedang haji…adapun penduduk kota Mekah maka wajib bagi mereka untuk berkurban meskipun mereka berhaji” (al-Mabsuth 12/18, lihat juga Badai’ as-Shonai’, al-Kaasyaani 5/63, Roodul Muhtaar ‘ala ad-Dur al-Mulhtaar, Ibnu ‘Abidin 6/315)
Adapun madzhab Malikiyah maka kurban tidak disyari’atkan bagi yang berhaji, karena ia adalah seorang haji dan bukan karena ia sedang bersafar. Karenanya meski yang berhaji adalah penduduk mina (dan mereka statusnya muqim bukan musafir) tetap saja tidak disyari’atkan untuk berkurban.
Al-Imam Malik berkata :
لَيْسَ عَلَى الْحَاجِّ أُضْحِيَّةٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ سَاكِنِي مِنًى بَعْدَ أَنْ يَكُونَ حَاجًّا
“Seorang haji tidak berkwajiban kurban meskipun ia tinggal di Mina setelah ia melaksanakan haji” (al-Mudawwanah 1/550)
Menurut madzhab Malikiyah kurban hukumnya adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu bahkan musafir yang mampu juga hendaknya berkurban. Namun seorang yang haji tidak disunnahkan berkurban, karena sunnah bagi mereka adalah al-hadyu bukan al-udhiyah/kurban (lihat al-Kaafi fi fiqhi Ahlil Madinah, Ibnu Abdilbarr 1/418).
Karenanya al-hadyu boleh disembelih meskipun sebelum matahari terbit matahari, berbeda dengan al-udhiyah/kurban maka tidak boleh disembelih kecuali setelah sholat idul adha, karena kurban berkaitan dengan idul adha. Sementara para Jamaah haji tidak melakukan sholat idul adha, maka demikian pula mereka tidak berkurban. Bahkan tidak disunnahkan bagi mereka untuk sholat ‘iedul adha, karena sholat mereka gantinya adalah wuquf setelah subuh di muzdalifah (lihat Mawahibul Jalil syarh Mukhtashor al-Kholil 2/190 dan Syarh Mukhtashor al-Kholil, al-Khirosyi 2/98,334 dan 3/33)
Adapun madzhab Syafi’iyyah maka kurban disyari’atkan bagi siapa saja yang mampu, baik muqim maupun musafir, termasuk yang sedang berhaji.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata,
الْأُضْحِيَّةُ سُنَّةٌ عَلَى كُلِّ مَنْ وَجَدَ السَّبِيلَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَهْلِ المدائن والقرى وأهل السفر والحضر والحاج بِمِنًى وَغَيْرِهِمْ مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ
“Kurban sunnah bagi kaum muslimin mana saja yang mampu, baik penduduk kota atau kampung, yang sedang bersafar atau bermuqim, baik yang haji di Mina atau selain mereka, baik yang membawa hadyu atau yang tidak membawa hadyu” (al-Majmuu’ syarh al-Muhadzdzab, an-Nawawi 8/383).
Al-Imam an-Nawawi berdalil dengan lafal sebuah hadits :
ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ber-udhiyah (berkurban) untuk para istrinya dengan seekor sapi” (HR Al-Bukhari no 5548). Dan pendapat madzhab Asy-Syafi’iyah juga Ibnu Hazm.
Adapun madzhab Al-Hanabilah maka bagi seorang haji (tamattu’ dan qiron) maka yang wajib adalah hadyu, adapun yang tidak wajib hadyu (seperti haji ifrod) maka boleh baginya untuk berkurban.
Berkata Ibnu Qudamah :
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ، وَعَلَيْهِ هَدْيٌ، وَاجِبٌ، اشْتَرَاهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، فَأَحَبَّ أَنْ يُضَحِّيَ، اشْتَرَى مَا يُضَحِّي بِهِ
“Jika ia tidak membawa hewan hadyu padahal ia wajib untuk menyembelih hadyu maka ia beli hewan hadyu tersebut. Dan jika ia tidak wajib hadyu dan ia ingin berkurban maka silahkan ia membeli kurbannya” (Al-Mughni 3/383)
Pendapat yang terkuat
Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur ulama bahwasanya tidak disyari’atkan berkurban bagi seorang yang sedang berhaji. Karena tidak dinukilah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidaklah berkurban tatkala sedang berhaji, akan tetapi mereka hanya menyembelih hewan hadyu. (lihat pernyataan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad 2/243)
Adapun hadits Nabi
ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ber-udhiyah (berkurban) untuk para istrinya dengan seekor sapi” (HR Al-Bukhari no 5548)
Maka penjelasannya -sebagaimana yang dijelaskan oleh AL-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah- dari dua sisi :
Pertama : Lafal yang datang dalam hadits bermacam-macam -bukan hanya berudhiyah/berkurban-, diantaranya dengan lafal نَحَرَ dan ذَبَحَ yang artinya (menyembelih), dan juga dengan lafal أَهْدَى yang artinya (menyembelih hewan hadyu). Ini menunjukan lafal ضَحَّى, نَحَرَ, dan ذَبَحَ merupakan periwayatan dengan makna oleh sebagian perawi. Dan yang benar adalah makna أَهْدَى yaitu beliau menyembelihkan bagi istri-istri beliau hadyu tamattu’. Karena telah datang dengan riwayat yang tegas dari Abu Huroiroh :
أنَّ رسولَ الله – صلَّى الله عليه وسلم – ذَبَحَ عمن اعْتَمَرَ مِن نِسائه بقرةً بَينَهُنَّ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihkan untuk istri-istrinya yang umroh (yaitu umroh tamattu’-pen) seekor sapi” (HR Al-Hakim 1717 dan Abu Daud dalam sunannya no 1751 dan dishahihkan Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzhabi dan juga dishahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauth)
Lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathu Baari (3/551)
Kedua : Kebiasaan Nabi tatkala menyembelih kurban adalah menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, bukan menyembelih seekor sapi khusus untuk istri-istrinya saja. Sementara dzohir hadits tersebut Nabi berkurban hanya untuk istri-istrinya. (lihat penjelasan al-Qurthubi yang dinukil dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 10/6)
Madinah, 13-12-1438 H / 04-09-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com